BBJ drakula atau pahlawan?
Betapa ironisnya perjalanan hidup PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ). Kelahirannya dahulu ditunggu-tunggu semua pihak bagaikan seorang bayi pahlawan yang akan membawa jawaban, atas kebutuhan perekonomian nasional dan ekonomi kerakyatan. Saat ini, perlahan-lahan BBJ justru menjelma menjadi remaja vampire, penghisap darah berupa dana marjin masyarakat yang gemar spekulasi melalui pialang gelap. Ini mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Blade yang dibintangi Wesley Snipe. Si Blade yang dilahirkan hasil hubungan drakula dan manusia berpenampilan sebagai manusia, mempunyai kekuatan supranatural drakula. Sebagai manusia dia mempunyai tabiat yang baik, namun karena turunan drakula maka dia tetap memiliki keinginan menghisap darah manusia. Keadaan ini menyebabkan dia sesekali harus bertarung melawan keinginannya sendiri yang berkecamuk di dalam jiwanya untuk melawan hukum, ya menghisap darah manusia itu. Kelahiran BBJ pun, sejauh yang secara pribadi dapat saya ikuti dari dekat dan cermati, mirip dengan alur film tersebut.
Kelahirannya sudah lama dinantikan oleh pemerintah, pelaku pasar, petani, pedagang dan prosesor semenjak awal 1990-an. Pada akhirnya terwujud saat DPR mengundangkan UU No.32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, yang disusul pendirian badan usaha BBJ pada 19 Agustus 1999, untuk beroperasi akhir 2000. Maka harapanpun merekah bahwa bayi BBJ akan mampu menunjang program ekonomi kerakyatan dalam rangka Indonesia bangkit secara ekonomi dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian dan budi-daya lainnya. Itu berarti komoditas-komoditas yang perdagangkan di BBJ seharusnya adalah komoditas yang terkait secara langsung, riil dan kongkrit dengan dunia usaha di Indonesia.
Daftar komoditas-komoditas tersebut ada pada Kepres No.119/2001, yakni kopi, minyak sawit, plywood, karet, kakao, lada, gula pasir, kacang tanah, kedelai, cengkeh, udang, ikan bahan bakar minyak, gas alam, tenaga listrik, emas, batubara, timah, pulp dan kertas, benang, semen dan pupuk. Namun sekarang, BBJ lebih memfokuskan diri pada perdagangan kontrak-kontrak asal luar negeri yang tidak ada hubungannya dengan perekonomian nasional, apalagi ekonomi kerakyatan. Bila menyimak transaksi yang terjadi di BBJ maka kontrak indeks Nikei, Hang Seng, Forex, dan kontrak-kontrak yang diperdagangkan bursa-bursa lain di luar negeri sajalah yang menguasai perdagangan di BBJ, lebih dari 90%. Sedangkan kontrak-kontrak komoditas asal Indonesia yang semuanya berjumlah 22 komoditas yang sudah ada Keppres-nya justru tidak diperdagangkan (kecuali Olein) Kontrak Olein dalam satu hari hanya mencapai rata-rata 50 lot per hari (11,4%) dibandingkan kontrak-kontrak indeks dan valas rata-rata 3.700 lot per hari.
Betapa ironisnya bahwa kontrak minyak sawit tidak berjalan lancar di BBJ, padahal dari pemegang saham BBJ yang berjumlah 29 entitas tersebut, 11 entitas atau mayoritas terbesar adalah dari kalangan pemilik perkebunan sawit, produsen CPO, dan prosesor minyak goreng.
Hambat GCG? Apakah ada pihak-pihak, termasuk kalangan internal seperti pemegang saham, yang membentuk konspirasi dengan misi justru membendung agar jangan sampai kontrak-kontrak tersebut diperdagangkan di BBJ? Bila kontrak-kontrak itu diperdagangkan di BBJ maka perdagangan memang menjadi transparan, memperkecil kemungkinan korupsi, mencuatkan isu penggelapan pajak, dan menunjang prinsip Good Corporate Governance.
Semua hal-hal baik tersebut yang justru sangat dibenci oleh orang-orang beritikad kurang baik yang punya 'agenda' tersembunyi. Yang paling tragis adalah BBJ mengambil jalan pintas dengan menjadikan perdagangan indeks saham dan valuta asing (valas), sebagai komoditas andalan, dengan mengesampingkan sama sekali komoditas pertanian. Hal ini merupakan pelanggaran serius atas Pasal 3 UU No.32/97 yang berbunyi, "Komoditas yang dapat dijadikan subjek Kontrak Berjangka ditetapkan dengan Keputusan Presiden". Indeks saham dan valas serta beberapa komoditas asing lainnya belum ada Keppresnya.
Komoditas-komoditas tersebut kerap dikemas dalam bentuk perdagangan marjin oleh para pialang ilegal atau pialang nakal dalam menjaring calon nasabahnya. Hingga saat ini sudah ada paling tidak 766 terjerat kasus pelanggaran UU No.32/1997 dilaporkan oleh masyarakat yang merasa dirugikan, 66 diantaranya sedang diproses, 5 sudah dimajukan ke kantor kejaksaan, dan 2 sudah divonis di pengadilan. Tindakan pelanggaran tersebut semuanya menggunakan modus operandi transaksi marjin valas, indeks dan komoditas pertanian asing seperti kapas, kacang merah, kacang kedelai, kakao atau lainnya. Permainan ini sekarang dilakukan oleh sebagian pialang anggota BBJ. Sebagian besar pialang ilegal yang tadinya bermain di pasar gelap sekarang telah resmi menjadi anggota BBJ, yang memfasilitasi kegiatan ini padahal dengan kondisi saat ini BBJ belum siap mengontrol risikonya, apalagi mengelola risikonya. BBJ memfasilitasi perdagangan margin indeks dan valas ini dengan mendapatkan fee, sehingga tatkala pialang anggota BBJ ada yang nakal sehingga ada pihak yang tertipu maka BBJ otomatis akan menjadi pihak yang membantu terjadinya penipuan tersebut. Menerima fee dari anggota bursa untuk kegiatan di grey area seperti itu dapat dilihat seakan menerima uang sogokan dari anggota bursa.
Bila pialang anggota BBJ dituduh sebagai bandar, maka BBJ bisa dituduh sebagai bandar besar. Bila pialang nakal diandaikan sebagai drakula penghisap darah nasabah korbannya, maka BBJ kebagian darah nasabah yang menjadi korban penipuan pialang nakal tersebut. Kontrak-kontrak grey area tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai kontrak futures yang sudah ada Keppres-nya, dan tidak juga merupakan kontrak fisik sehingga bisa memenuhi persyaratan UU No. 32/97 Pasal 3. Es tipis Bisa dibayangkan, betapa BBJ sedang berjalan di atas es yang sangat tipis (walking on the thin ice) karena risiko sistemik yang berdampak pada fluktuasi kurs bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Data Bank for International Settlement menunjukkan perdagangan cross-currency dunia yang pada 1989 hanya US$ 650 milyar, pada 1992 menjadi US$ 1,3 triliun, dan 2002 sudah mencapai US$ 2,2 triliun.
Apakah dunia usaha valas di Indonesia yang terdiri atas pialang-pialang anggota BBJ serta nasabahnya mampu menerima "hantaman" gelombang besar dampak fluktuasi kurs cross currency tersebut jika itu terjadi? Siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah peraturan perundang-undangan yang ada cukup untuk dipakai mempertanggung jawabkan diri di depan masyarakat yang dirugikan? Ingat era akhir 1980-an ketika George Soros menggempur poundsterling sampai Bank of England kelimpungan? Atau era 1990-an pada waktu grup Robert Kuok meng-corner pasar CPO di Malaysia sehingga terjadi gagal serah gagal bayar massal? Atau Nick Leeson yang menghancurkan perusahan berumur seratus tahun lebih Barings Inc? Empat tahun berjalan sudah semenjak BBJ beroperasi, mungkin dapat diandaikan BBJ telah beranjak dari bayi memasuki usia remaja. BBJ tahun ini telah mencapai BEP, berarti telah mampu berdiri diatas kaki sendiri. Memang keperkasaan BBJ yang berpotensi menjadi katalis pembangunan nasional juga tidak bisa dipungkiri, jadi pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengarahkan BBJ kedepan untuk kepentingan perekonomian nasional.
Apakah kita akan membiarkan BBJ bertumbuh menjadi seorang drakula atau manusia berbudi luhur penegak kebenaran, seperti dalam film Blade? Seperti pertanyaan Alfred Steinherr, seorang penulis buku soal dunia derivatif, Is it Beast or Beauty? dalam buku-nya berjudul Derivatives, The Wild Beast of Finance.
Kelahirannya sudah lama dinantikan oleh pemerintah, pelaku pasar, petani, pedagang dan prosesor semenjak awal 1990-an. Pada akhirnya terwujud saat DPR mengundangkan UU No.32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, yang disusul pendirian badan usaha BBJ pada 19 Agustus 1999, untuk beroperasi akhir 2000. Maka harapanpun merekah bahwa bayi BBJ akan mampu menunjang program ekonomi kerakyatan dalam rangka Indonesia bangkit secara ekonomi dengan mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian dan budi-daya lainnya. Itu berarti komoditas-komoditas yang perdagangkan di BBJ seharusnya adalah komoditas yang terkait secara langsung, riil dan kongkrit dengan dunia usaha di Indonesia.
Daftar komoditas-komoditas tersebut ada pada Kepres No.119/2001, yakni kopi, minyak sawit, plywood, karet, kakao, lada, gula pasir, kacang tanah, kedelai, cengkeh, udang, ikan bahan bakar minyak, gas alam, tenaga listrik, emas, batubara, timah, pulp dan kertas, benang, semen dan pupuk. Namun sekarang, BBJ lebih memfokuskan diri pada perdagangan kontrak-kontrak asal luar negeri yang tidak ada hubungannya dengan perekonomian nasional, apalagi ekonomi kerakyatan. Bila menyimak transaksi yang terjadi di BBJ maka kontrak indeks Nikei, Hang Seng, Forex, dan kontrak-kontrak yang diperdagangkan bursa-bursa lain di luar negeri sajalah yang menguasai perdagangan di BBJ, lebih dari 90%. Sedangkan kontrak-kontrak komoditas asal Indonesia yang semuanya berjumlah 22 komoditas yang sudah ada Keppres-nya justru tidak diperdagangkan (kecuali Olein) Kontrak Olein dalam satu hari hanya mencapai rata-rata 50 lot per hari (11,4%) dibandingkan kontrak-kontrak indeks dan valas rata-rata 3.700 lot per hari.
Betapa ironisnya bahwa kontrak minyak sawit tidak berjalan lancar di BBJ, padahal dari pemegang saham BBJ yang berjumlah 29 entitas tersebut, 11 entitas atau mayoritas terbesar adalah dari kalangan pemilik perkebunan sawit, produsen CPO, dan prosesor minyak goreng.
Hambat GCG? Apakah ada pihak-pihak, termasuk kalangan internal seperti pemegang saham, yang membentuk konspirasi dengan misi justru membendung agar jangan sampai kontrak-kontrak tersebut diperdagangkan di BBJ? Bila kontrak-kontrak itu diperdagangkan di BBJ maka perdagangan memang menjadi transparan, memperkecil kemungkinan korupsi, mencuatkan isu penggelapan pajak, dan menunjang prinsip Good Corporate Governance.
Semua hal-hal baik tersebut yang justru sangat dibenci oleh orang-orang beritikad kurang baik yang punya 'agenda' tersembunyi. Yang paling tragis adalah BBJ mengambil jalan pintas dengan menjadikan perdagangan indeks saham dan valuta asing (valas), sebagai komoditas andalan, dengan mengesampingkan sama sekali komoditas pertanian. Hal ini merupakan pelanggaran serius atas Pasal 3 UU No.32/97 yang berbunyi, "Komoditas yang dapat dijadikan subjek Kontrak Berjangka ditetapkan dengan Keputusan Presiden". Indeks saham dan valas serta beberapa komoditas asing lainnya belum ada Keppresnya.
Komoditas-komoditas tersebut kerap dikemas dalam bentuk perdagangan marjin oleh para pialang ilegal atau pialang nakal dalam menjaring calon nasabahnya. Hingga saat ini sudah ada paling tidak 766 terjerat kasus pelanggaran UU No.32/1997 dilaporkan oleh masyarakat yang merasa dirugikan, 66 diantaranya sedang diproses, 5 sudah dimajukan ke kantor kejaksaan, dan 2 sudah divonis di pengadilan. Tindakan pelanggaran tersebut semuanya menggunakan modus operandi transaksi marjin valas, indeks dan komoditas pertanian asing seperti kapas, kacang merah, kacang kedelai, kakao atau lainnya. Permainan ini sekarang dilakukan oleh sebagian pialang anggota BBJ. Sebagian besar pialang ilegal yang tadinya bermain di pasar gelap sekarang telah resmi menjadi anggota BBJ, yang memfasilitasi kegiatan ini padahal dengan kondisi saat ini BBJ belum siap mengontrol risikonya, apalagi mengelola risikonya. BBJ memfasilitasi perdagangan margin indeks dan valas ini dengan mendapatkan fee, sehingga tatkala pialang anggota BBJ ada yang nakal sehingga ada pihak yang tertipu maka BBJ otomatis akan menjadi pihak yang membantu terjadinya penipuan tersebut. Menerima fee dari anggota bursa untuk kegiatan di grey area seperti itu dapat dilihat seakan menerima uang sogokan dari anggota bursa.
Bila pialang anggota BBJ dituduh sebagai bandar, maka BBJ bisa dituduh sebagai bandar besar. Bila pialang nakal diandaikan sebagai drakula penghisap darah nasabah korbannya, maka BBJ kebagian darah nasabah yang menjadi korban penipuan pialang nakal tersebut. Kontrak-kontrak grey area tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai kontrak futures yang sudah ada Keppres-nya, dan tidak juga merupakan kontrak fisik sehingga bisa memenuhi persyaratan UU No. 32/97 Pasal 3. Es tipis Bisa dibayangkan, betapa BBJ sedang berjalan di atas es yang sangat tipis (walking on the thin ice) karena risiko sistemik yang berdampak pada fluktuasi kurs bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Data Bank for International Settlement menunjukkan perdagangan cross-currency dunia yang pada 1989 hanya US$ 650 milyar, pada 1992 menjadi US$ 1,3 triliun, dan 2002 sudah mencapai US$ 2,2 triliun.
Apakah dunia usaha valas di Indonesia yang terdiri atas pialang-pialang anggota BBJ serta nasabahnya mampu menerima "hantaman" gelombang besar dampak fluktuasi kurs cross currency tersebut jika itu terjadi? Siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah peraturan perundang-undangan yang ada cukup untuk dipakai mempertanggung jawabkan diri di depan masyarakat yang dirugikan? Ingat era akhir 1980-an ketika George Soros menggempur poundsterling sampai Bank of England kelimpungan? Atau era 1990-an pada waktu grup Robert Kuok meng-corner pasar CPO di Malaysia sehingga terjadi gagal serah gagal bayar massal? Atau Nick Leeson yang menghancurkan perusahan berumur seratus tahun lebih Barings Inc? Empat tahun berjalan sudah semenjak BBJ beroperasi, mungkin dapat diandaikan BBJ telah beranjak dari bayi memasuki usia remaja. BBJ tahun ini telah mencapai BEP, berarti telah mampu berdiri diatas kaki sendiri. Memang keperkasaan BBJ yang berpotensi menjadi katalis pembangunan nasional juga tidak bisa dipungkiri, jadi pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengarahkan BBJ kedepan untuk kepentingan perekonomian nasional.
Apakah kita akan membiarkan BBJ bertumbuh menjadi seorang drakula atau manusia berbudi luhur penegak kebenaran, seperti dalam film Blade? Seperti pertanyaan Alfred Steinherr, seorang penulis buku soal dunia derivatif, Is it Beast or Beauty? dalam buku-nya berjudul Derivatives, The Wild Beast of Finance.
Oleh
D.Rico Menayang Pemerhati Pasar Keuangan dan Komoditas
Posted by
Ali Indradjit
http://www.Perwarisan.com
http://www.dbc-asset.com